Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Pages

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header Ad

Breaking News

latest

Disparitas dan Dilema Kesejahteraan Dosen pada Perguruan Tinggi Swasta

Oleh Syahruddin Yasen*) TIDAK dapat dipungkiri lagi, bahwa telah puluhan tahun terjadi dilema yang dialami para dosen, khususnya dosen-dosen...

Oleh
Syahruddin Yasen*)


TIDAK dapat dipungkiri lagi, bahwa telah puluhan tahun terjadi dilema yang dialami para dosen, khususnya dosen-dosen yayasan  yang bertugas pada Perguruan Tinggi Swasta. Permasalahan ini begitu lama dipendam oleh mayoritas dosen Yayasan. Mereka ingin berhenti jadi dosen karena pendapatan sangat rendah, tetapi disisi lain mereka terlanjur mengeluarkan dana untuk membiayai kuliah mulai dari S2 sampai S3 karena orientasi menjadi dosen.

Berbeda dengan si fulan’ yang belakangan tiba-tiba menjadi doktor tanpa bersusah payah seperti para calon doktoral pada umumnya, yang akhirnya mempermalukan perguruan tinggi yang bersangkutan. 

Berdasarkan penuturan lepas para dosen, baik saat mereka minum kopi di Warkop atau di saat pertemuan formal dan informal, rata-rata mereka mengeluhkan masalah kesejahteraan atau pendapatan yang sangat minim; berbanding terbalik secara psikologis dengan nama keren dosen dengan tingkat kesejahteraan finansial yang mereka peroleh. Sebagian dosen tetap Yayasan swasta ini kebanyakan tidak ingin bicara meskipun pahit, tetapi sebagian lagi menjadi dosen hanya sebagai reputasi psikologis atau prestise/status sosial saja 

Sebagai salah seorang pemegang kemudi sebuah organisasi profesi dosen dan guru di Indonesia, penulis menyatakan sudah saatnya para pemangku kepentingan dalam hal ini stakeholder pengelola Yayasan peguruan tinggi swasta memikirkan masalah kesejahteraan dosen mereka, Mengapa demikian? Karena ditinjau dari satu sisi, profesi dosen amat indah di mata dan nyaman kedengaran di telinga, tetapi jauh dari kata sejahtera. 

Kenyataan menunjukkan, para dosen tetap Yayasan yang ber-homebase pada perguruan tinggi tertentu tidak mendapatkan Salary (gaji tetap) setiap bulan apalagi yang namanya BPJS ketenagkerjaan, meskipun mereka harus mengikuti semua peraturan terkait eksistensi dosen, terutama dalam melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi (Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat).

Fakta tersebut menunjukkan, betapa memprihantinkan nasib dosen-dosen yang bertugas di perguruan tinggi swasta di bawah yayasan. Meskipun tidak semua dosen bernasib sama (tidak mendapatkan gaji atau honor bulanan namun ada juga dosen mendapatkan gaji bulanan meskipun sangat rendah). 

Pertanyaannya mengapa dalam konsideran sebuah Surat Keputusan (SK) Rektor atau Ketua Perguruan Tinggi mengharuskan pencantuman nominal gaji tetap tiap bulan. Sayangnya, konsideran nominal gaji/honor tetap dosen Yayasan dalam sebuah SK sepertinya hanya sebagai formalitas belaka dan tidak bisa diterapkan dengan alasan, misalnya,  biaya dan anggaran yang nihil. Di satu pihak PTS nya ingin tetap bertahan, tetapi di pihak lain tidak bisa memberikan tunjangan tetap bagi dosennya. Sebuah dilema yang telah lama terkungkung dan jujur penulis harus mengkritisinya. 

Jika sebuah SK plus konsideran diadukan secara hukum sesuai UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 20 ayat (1) Jo PP nomor 37 Tahun 2009 menyatakan ‘’dosen memiliki hak untuk memperoleh gaji dan tunjangan yang layak’. Selanjutnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh upah yang layak dan sesuai dengan perjanjian kerja.

Berikut PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi Pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa peguruan tinggi swasta harus memenuhi standar kelayakan dosen, termasuk gaji dan tunjangan.

Problemnya, banyak variabel ikut memengaruhi mengapa rata-rata sebuah perguruan tinggi yang dikelola Yayasan tidak mampu memberikan kesejahteraan dosennya, minimal menerapkan gaji/honor tetap sesuai isi konsideran SK yang tercantum yang semestinya dilaksanakan secara transparan dan akuntabel sesuai peraturan perundangan yang ada?. 

Antara lain variabel tersebut, yaitu : Pertama, anggaran pendapatan PTS tertentu tergantung dari kuantitas (jumlah) mahasiswa. Artinya, makin banyak jumlah mahasiswa, maka akan semakin besar peluang mendapatkan biaya operasional untuk survive;

Kedua, alokasi anggaran subsidi pemerintah bagi kesejahteraan dosen-dosen PTS dipastikan belum memiliki payung hukum yang jelas, kecuali payung hukum sertifikasi dosen dan alokasi anggaran sarana prasana perguruan tinggi, itupun masih terbatas PTS yang bisa mengaksestual bantuan pemerintah pusat.

Ketiga, proses sertifikasi dosen membutuhkan alokasi biaya, waktu, tenaga dan kompetensi agar lolos dari perangkap: PEKERTI, TOEFL, TKDA/TPA, serta mengisi BKD minimal dua semester dan lainnya. Lebih sulitnya lagi untuk menggapai kesejahteraannya, seorang dosen swasta harus lulus sertifikasi terlebih dahulu, yang kemudian boleh mengajukan kenaikan Jabatan Fungsional (Jafung) mulai dari Asisten Ahli, Lektor. Pada langkah ini tanjakannya makin curam, karena untuk naik ke Jafung Lektor Kepala seorang dosen swasta harus sertifikasi lebih dahulu, sementara untuk bisa sertifikasi harus masuk perangkap Pekerti, Toefel, TPDA/TKDA, BKD dan sebagainya. Ibarat lingkaran setan yang oleh mayoritas dosen dalam rentang waktu relatif  terperangkap di dalamnya. Padahal sebelum masuk Strata Tiga (Doktoral), calon yang bersangkutan sudah test TOEFL, belakangan sebelum sertisfikasi dosen test ulang  TOEFL lagi, itupun sistemnya sudah diatur sedemikian rupa baik dari sisi waktu per soal maupun tingkat kerumitannya. Bahkan ada teman dosen yang mengeluh, sudah mengikuti Test TOEFL dan TKDA 15 kali belum juga lulus, belum lagi soal biaya setiap kali test antara 300.000 s/d 400.000, dan ini namanya menyusahkan dosen. Ke depan kita merindukan ada regulasi yang memudahkan pengurusan Jafung dan kesejahteraan finansial dan non finansial dosen tetap yayasan khususnya, dan dosen pada umumnya; 

Keempat,  tanggung jawab kemanusiaan dan transparansi pengelolaan PTS masih rendah, sehingga sulit dideteksi tinggi rendahnya alokasi biaya operasional perguruan tinggi swasta. Seolah-olah di sana menjadi sarana petak umpet; 

Kelima,  tidak sedikit PTS yang harus tetap ingin bertahan (survive) meskipun biaya operasional pengelolaan PTS-nya nihil, akibatnya berdampak pada kesejahteraan dosen. Di satu pihak seorang dosen dituntut untuk melaksanakan tri dharma yang bukan hanya untuk kepentingan dosen, tetapi juga untuk kepentingan reputasi psikologis PTS bersangkutan.

Disamping itu, ada beberapa PTS yang memang memiliki kemampuan finansial, sehingga para dosennya termasuk kategori sejahtera, tanpa harus menyebutkan identitas PTS dimaksud. Jadi, antara kesejahteraan profesi dosen  PTS yang satu dengan dosen PTS yang lain relatif terjadi disparitas (kesenjangan) kesejahteraan. Bagaimana menurut Anda ?

*) Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Dosen dan Guru Indonesia (DPP ADGI) Periode 2022-2027, mantan jurnalis beberapa media cetak (1989 - 2004)


Tidak ada komentar