Oleh Syahruddin Yasen*) ADAKAH padanan bahasa Indonesa yang lebih dekat pada repsentasi makna bagi tingkat ‘kemiskinan’ dosen swasta di ...
ADAKAH padanan bahasa Indonesa yang lebih dekat pada repsentasi makna bagi tingkat ‘kemiskinan’ dosen swasta di Indonesia? Penulis lebih menjawab sendiri, pasti ‘ada’, yaitu ‘miris atau memprihatinkan.’ Jika kita menyebutnya ‘miris’ artinya sedih, duka cita atau berduka, luka lara. Tetapi kalau menggunakan kata ‘memprihatinkan’ berarti waswas, bimbang, bersedih hati.
Setidaknya kata-kata dan kalimat itulah yang memantik (memicu) penulis untuk menggambarkan nasib kesejahteraan dosen yayasan secara material. Di pihak lain, tidak banyak dosen berani bersikap kritis; ibarat katak dalam tempurung. Tulisan ini sengaja dihadirkan untuk outoritik atas segala kelemahan dan kekurangan pada perguruan tinggi swasta selama ini. Tentu dengan tetap memahami kondisi internal perguruan tinggi swasta bersangkutan.
Tidak berlebihan jika dinyatakan kondisi psikologis-ekonomis para dosen swasta di Sulawesi Selatan khususnya dan dosen Yayasan swasta di Indonesia umumnya tergolong Pra Sejahtera. Di satu pihak, dosen swasta dituntut untuk berkinerja baik, bahkan sama dengan kinerja dosen ASN, tetapi di pihak lain kesejahteraan tidak sama; sebuah ketidak adilan dan kezaliman terstruktur?
Betapa tidak, sebagai contoh kasus dosen swasta yang bekerja di bawah kurang lebih 4.742 yayasan perguruan tinggi swasta di provinsi Sulawesi Selatan, misalnya, terdapat kurang lebih 10.842 dosen tetap Yayasan (BPS, 22/2-2024). Asumsi kasarnya, terdapat 95 persen atau sekira 10.000 dosen Yayasan tergolong Pra Sejatera. Bagaimana dengan dosen Yayasan di provinsi lainnya? Hal ini akan memantik kesadaran untuk menuntut hak-hak mereka kepada para pengambil kebijakan (pemerintah) dan pengelola Yayasan perguruan tinggi sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Dilematis memang, karena di satu sisi sistem penggajian profesi dosen pada banyak perguruan tinggi swasta terkadang hanya untaian konsideran dengan nominal tertentu di bawah standar UMR, itupun tidak terbayarkan dengan alasan defisit anggaran akibat kurangnya mahasiswa yang kuliah di kampus tersebut.
Pernyataan ini adalah fakta yang harus ditelusuri pada setiap yayasan pengelola perguruan tinggi swasta, menyusul lahirnya Undang-udang Cipta Kerja, yang menjadi alternatif ‘penyelamatan’ defisit anggaran perguruan tinggi swasta, yaitu dengan membuat pernyataan kesepakatan sebagai dosen swasta berstatus perjanjian kerja.
Dalam konteks hukum, dosen swasta dengan perjanjian kerja dianggap buruh atau pekerja yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 3 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Jika dosen dengan perjanjian kerja dikontekskan sebagai buruh, maka profesi dosen swasta dengan perjanjian kerja di Indonesia saat ini pada umumnya tidak lebih sama dengan ‘buruh’ bangunan atau buruh pabrik.
Bahkan buruh bangunan dan serabutan jelas mendapatkan upah tertentu selesai kerja atau per pekan kerja. Berbeda dengan dosen yayasan swasta, bahwa pencantuman nominal gaji pada Surat Keptusan (SK) dosen Yayasan tertentu hanyalah formalitas belaka?
Dari pengamatan dan bincang-bincang penulis dengan sejumlah dosen swasta di beberapa daerah di Indonesia, sebagai salah seorang Ketua Umum DPP sebuah organisasi profesi dosen, penulis merasa miris dan sangat prihatin bahkan kehabisan kata, karena jika rata-rata dosen swasta mengharapkan honor atau gaji bulanan di tempat pengabdiannya yang kemudian tidak kreatif atau tidak mendapatkan akses dana hibah penelitian, maka dosen-dosen tersebut masuk dalam kateori Pra Sejahtera atau Miskin, mengapa? Mereka sudah menghabiskan sumber daya, tenaga dan uang untuk menyelesaikan studi S2 dan S3 (doktoral); merogok kantong sendiri dengan harapan bisa sejahtera, tetapi tiba giliran memilih profesi dosen, apalagi di perguruan tinggi swasta mereka ibarat ‘buruh’ yang tidak menentu pendapatannya, dalam artinya Pra Sejahtera.
Di China mereka yang pendidikan S2 dan S3 lebih memilih profesi sebagai driver, karena pendapatannya lebih besar dari profesi dosen di Indonesia, apakah mereka di China terpaksa karena tidak ada pekerjaan lain, itu soal lain? Maka, pantas profesi dosen di peguruan tinggi swasta kebanyakan Pra Sejahtera. Pendapatan dosen tetap yayasan swasta, misalnya, rata-rata tidak mencapai Rp 6 juta per enam bulan?
Itulah mengapa penulis tergelitik dan sudah lama memendam informasi ini. Tidak hanya dosen swasta dengan perjanjian kerja, tetapi dosen DPK juga memiliki masalah tersendiri, diantaranya insentif yang masih minim beban kerja semakin banyak. Secara makro, terjadi lingkaran setan yang menjadi penyebab profesi dosen Pra Sejahtera yang dapat ditelusuri dari beberapa aspek, antara lain: 1) sistem penggajian dosen pada perguruan tinggi swasta tidak jelas regulasinya (baik sebelum atau sesudah ditetapkannya UU Cipta kerja. Bahkan profesi dosen sudah disamakan dengan ‘buruh’ (kuli) dengan perjanjian kerja tersebut; ini sebuah kezaliman yang tidak boleh dibiarkan berlangsung seterusnya; 2) alokasi anggaran dan transparansi pada perguruan tinggi swasta yang masih minim; 3) animo calon mahasiwa pada perguruan tinggi pesaing, karena terlalu banyaknya perguruan tinggi swasta yang berakibat saling merebut pangsa pasar secara tidak sehat, sehingga ada istilah ‘’laa yamuwtu wa laa yahya’’ ialah bahwa untuk menutupi kekurangannya dalam kondisi tidak hidup dan tidak mati tersebut, sejumlah perguruan tinggi swasta tertentu memaksakan diri untuk tetap survive (bertahan) meskipun dengan menerima dosen yang mudah diatur dan tanpa digaji, dengan dalih ada calon dosen dan bahkan calon mahasiwa yang hanya mau mencari prestige saja; 4) kondisi makro ekonomi dan pendapatan negara yang minim, akibat prilaku korupsi serta utang luar negeri yang menumpuk yang belum terbayarkan;, 5) kondisi ekonomi global yang tidak stabil; 6) bangkrutnya para pengusaha kelas menengah yang berakibat penurunan penerimaan pajak negara; 7) APTISI= Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia masih bersikap ambivalen; tidak bertindak sebagai pengawas profesional dan independen, demikian juga Lembaga Ombudsman masih berkinerja buruk.
Pertanyaannya kemudian, bagaima solusi alternatif untuk menghadapi ‘lingkaran setan’ tersebut? Bagaimana pula agar profesi dosen dihargai dan tidak sama dengan profesi buruh, sehingga dapat sejahtera sebagaimana negara lainnya di dunia?
Bukankah negara-negara di dunia menjadikan SDM dosen sebagai salah satu aset penting bagi sebuah negara? Karena mereka menyadari dosen adalah aset bangsa, maka wajar gaji dan insentif dosen di negara lain sangat besar. Perbandingan pendapatan dosen di Indonesia sangat jauh; ibarat langit dan bumi.
Menurut Tempo online (akses, 10/3/25), Indonesia adalah negara paling rendah gaji dosennya sekira Rp 4.227.800. Urutan kedua terendah adalah negara India Rp 5.097.800, menyusul Vietnam Rp 6.521.034, Filiphina Rp 6.998.662. Kemudian Malaysia-Selandia Baru dan seterusnya antara Rp 14 juta s/d Rp 62 juta lebih. Urutan tertinggi adalah Hongkong dan Australia Rp 94 juta lebih, Singapura; tetangga dekat Rp 72 juta lebih. Melihat statistik gaji/pendapatan dosen di negara lain tersebut memunculkan pertanyaan besar, mengapa Indonesia bisa seperti ini? Lingkaran setan di berikut ini, yaitu karena regulasi dosen yang masih lemah, tata Kelola pemerintahan sebelumnya yang dikendalikan sekompok oligarki, korupsi meraja lela, SDA dikuras dan diangkut keluar negeri dan sebagainya.
Semoga bangsa ini segera keluar dari lingkaran setan ini, sehingga profesi dosen tidak harus disamakan dengan profesi buruh. Duka cita profesi dosen segera berakhir dengan bercermin pada keperpihakan pemeritah negara lain terhadap profesi dosennya.
*) Syahruddin Yasen, Ketua Umum DPP Asosiasi Dosen dan Guru Indonesia (ADGI Periode 2022-2027)
Tidak ada komentar